STATISTIK |
||
|
Polling dan Kepercayaan Masyarakat Oleh :Joko Subando, S.Si |
|
ARTIKEL |
||
|
||
Dari hasil survey CESDA-LP3ES pada tahun 2002 dan 2003, menunjukkan bahwa dua tokoh nasional yang mencalonkan diri menjadi presiden pada pemilu 2004 mendatang memperoleh kenaikan angka dukungan, yaitu Bambang Yudoyono yang tahun 2002 mendapat angka dukungan hanya 9% namun berdasar polling tahun 2003 menjadi 13%. Sementara itu Akbar Tanjung yang ditahun 2002 2% naik menjadi 6%. Hasil lain yang mencengangkan masyarakat adalah menurunnya popularitas beberapa tokoh nasional seperti Megawati, yang tahun 2002 memperoleh dukungan 28% di tahun 2003 menurun menjadi 7%, Amin Rais yang di tahun 2002 15% tahun 2003 hanya tinggal 6%. Hal yang sama juga di alami tokoh nasional seperti Nurcholis Majid tahun 2002 mendapat dukungan 5% tahun 2003 tinggal 2%. Polling untuk meminta pendapat masyarakat memang banyak menghiasi wajah media cetak dan elektronik akhir-akhir ini. Mulai dari polling mengenai produk sebuah barang, kasus-kasus kriminal, pemilihan bupati, gubernur, presiden sampai kebijakan-kebijakan pemerintah. Mungkin kita masih ingat bahkab sempat mengikuti polling beberapa kasus tentang RUU Sisdiknas, terorisme yang sempat digelar di beberapa situs internet. Terlepas dari tepat dan tidaknya hasil polling di atas, bagaimana tanggapan masyarakat dan pemerintah terhadap maraknya polling di negeri ini? Di negeri ini polling seolah suguhan kue yang hanya dilewatkan begitu saja. Banyak yang tidak memperhatikan bahkan banyak yang tidak percaya dulu dengan hasil polling. Angka-angka polling seolah angka angka biasa yang tak mempunyai makna. Sangat berbeda dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), polling justru dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai pengaruh yang besar. Polling dapat digunakan untuk menyerang lawan politik, mencari dukungan, mencari popularitas, dapat digunakan untuk mengetahui isu hangat yang berkembang di tengah masyarakat dan lain sebaginya. Sehingga tidak aneh apabila di negeri Paman Sam tersebut banyak berdiri lembaga-lembaga polling seperti literaty Digest, Gallup, Roper, Croosley dan masih banyak yang lain. Gallup sebagai lembaga polling di Amerika telah melakukan polling pemilihan presiden di Amerika sejak tahun 1936 hingga1992. Dari 16 kali pemilihan presiden tersebut hanya sekali memberikan prediksi yang salah, yaitu ketika pemilihan presiden tahun 1948. Saat itu kandidat Presiden AS empat orang, Deway, Truman, Thurmon, dan Wallace, menurut polling yang diselenggarakan Gallup dukungan terhadap Dewey 49,9%, Truman 44,8%, Thurmon 2,0% dan Wallace 4,0 %. Dengan dasar polling tersebut maka Gallub memprediksikan yang menjadi Presiden AS periode 1948-1952 adalah Deway karena perolehan dukungannya terbesar. Namun ternyata setelah pemilu diselenggarakan hasilnya menunjukkan bahwa perolehan suara Deway hanya 45,1%, sedangkan Truman 49,5%, Thurmom 2,4%, Wallace 2,4%. Dengan demikian yang berhak menduduki gedung putih saat itu adalah Truman. Inilah kesalahan tunggal Gallup dalam memprediksikan calon presiden AS dari 16 kali pemilihan, sementara itu dari 15 kali pemilu yang lain lembaga ini mampu memprediksikannya dengan baik. Karena ketepatannya itulah akhirnya gallub mempunyai posisi kepercayaan yang tinggi dikalangan masyarakat maupun politisi AS. Bagaimana kepercayaan masyarakat negeri ini terhadap lembaga polling dan hasil polling yang ada?
Kepercayaan masyarakat Budaya penelitian di Indonesia belum begitu memasyarakat, hal ini dapat dilihat dari minimnya penelitian di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Akibatnya masyarakat belum terbiasa –untuk mengatakan tidak terbiasa- berargumen atau berdalih dengan data penelitian. Sehingga hasil penelitian baik modelnya polling ataupun yang lainnya yang saat ini mulai tumbuh tidak berpengaruh banyak pada pemikiran masyarakat terhadap kasus atau kejadian-kejadian tertentu. Hasil penelitian dianggap bukti ilmiah saja tapi implikasinya dalam merubah pemikiran di tengah masyarakat tidak begitu besar. Yang lebih ironis lagi bagi para penentu kebijakan mereka pun juga tidak jauh berbeda dengan masyarakatnya, kurang peka terhadap hasil penelitian, malah mereka mengedepankan rasa tidak percaya lebih dahulu dengan hasil penelitian seperti polling. Mungkin kita masih ingat penelitian yang dilakukan Balitbang PDIP bulan Mei hingga Juni 2003 yang lalu. Para petinggi di jajaran pusat PDIP tidak percaya terhadap hasil penelitian bahwa angka dukungan terhadap partai berlambang banteng mencereng ini mengalami penurunan, dimana pada pemilu 1999 memperoleh suara 34% namun pada polling tersebut hanya 21.7%. Penelitian yang menjaring 2500 responden di 15 propinsi dan 250 desa tersebut juga menunjukkan bahwa, popularitas Megawati mengalami kemerosotan jika di adu dengan Wiranto calon dari golkar dan Amin Rais calon dari PAN. Hasil penelitian tersebut ternyata membuat polemik di dalam tubuh PDIP, selain ketidakpercayaan terhadap hasil polling juga menyebabkan adanya pergantian beberapa pejabat di jajaran balitbang PDIP yang hingga sampai saat ini masih memunculkan tanda tanya besar. Banyak alasan yang dapat disampaikan masyarakat untuk menunjukkan rasa tidak percaya terhadap penelitian metodologi polling terutama lewat telepon. Yaitu adanya celah yang nyata yang dapat dilihat oleh masyarakat bahwa polling-polling yang dilakukan di negeri ini mempunyai bias kesalahan yang besar. Hal ini disebabkan ragamnya tingkat pendidikan, status sosial, kultur dan yang lebih serius lagi sulitnya mendapatkan kerangka sampel penelitian yang baik dan mudah. Alasan ini memang dapat diterima, sebab penelitian yang baik memang harus mensyaratkan adanya kerangka sampel yang acak dan mewakili populasi yang ada. Karena sulitnya mencari kerangka sampel tersebut akhirnya para peneliti polling menggunakan kerangka sampel yang saat ini ada dan mudah didapatkannya yaitu menggunakan buku daftar pelanggan telepon. Oleh sebagaian orang pengambilan sampel dari buku telepon dianggap tidak representatif sebab tidak semua masyarakat memiliki telepon. Disinilah akrnya mengapa mereka tidak percaya dengan hasil polling lewat telepon. Dapat diterimakah alasan mereka? Dalam beberapa kasus alasan tersebut memang dapat diterima., misalnya untuk polling pemilihan presiden. Polling pemilihan calon presiden dapat dilakukan dengan baik lewat telepon apabila masyarakatnya telah memiliki saluran telepon yang banyak seperti di AS, sementara itu jika masih sebagian kecil yang memiliki saluran telepon maka pengambilan kerangka sampel lewat buku telepon kurang tepat. Namun bukan berarti ketika masyarakat baru sedikit yang memiliki saluran telepon terus tidak bisa dijadikan kerangka sampel. Untuk kasus seperti maraknya korupsi, kenakalan masyarakat kota, kasus BLBI dan lain sebagainya kiranya cukyp dengan sampel yang buku telepon tidak perlu seluruh masyarakat dari kota hingga desa maupun pegunungan. Sebab mereka yang tinggal di pedesaan dan pegunungan yang jauh dari informasi belum tentu mengikuti perkembangan berita secara baik dan runtut. Jadi apabila digunakan sebagai sampel justru kurang tepat. Dengan demikian alasan tidak percaya dengan hasil polling lewat telepon secara membabi buta adalah alasan yang tidak bisa diterima. Apalagi kerangka berpikir mengadakan polling adalah untuk mendapatkan gambaran secara cepat tentang kasus yang ada, bukan gambaran nyata dalam waktu yang lama. Dan, bisa dimungkinkan hasil polling yang saat ini ada berbeda dengan hasil polling dua hari atau tiga hari mendatang. Oleh karena itu pengambilan sampel lewat buku telepon merupakan langkah yang tepat dalam metodologi polling untuk kasus-kasus tertentu.
Belajar dari Mad City Masyarakat dan para petinggi negeri ini mungkin perlu menonton film Mad city. Film itu mengambarkan bagaiman sebuah kebijakan diputuskan dengan melihat penelitian atau polling yang ada. Digambarkan seorang satpam bernama Sam Baily (John Travolta) adalah satpam yang baik, lugu dan rajin bekerja. Suatu ketika Museum Sejarah Nasional tempat ia bekerja melakukan perampingan pegawai dan sialnya Sam Baily adalah termasuk orang yang masuk daftar PHK. Sam bigung sebab satpam adalah pekerjaan satu-satunya. Di tengah kebingungannya itulah Sam menyandera Mrs. Banks (Blythe Danner) pimpinan museum. Penyanderaan ini sebenarnya hanya pura-pura agar ia mendapat perhatian dari pihak manajemen museum sehingga dapat dipekerjakan kembali. Sialnya, ketika penyanderaan tersebut berlangsung terdapat wartawan TV dari KXBD, Max Bracket yang menyiarkan kejadian tersebut sehingga penyanderaan yang awalnya hanya sandiwara seolah-olah menjadi beneran. Sam bingung lalu tanpa sengaja menarik senajatanya dan mengenai Cliff Williams, teman sekerjanya. Masyarakat New York geger melihat drama penyanderaan dan penembakaan tersebut, akhirnya polisi datang serta meminta Sam menyerahkan diri. Max Bracket dengan intuisinya sebagai wartawan menyarankan kepada Sam agar dia dilindungi dan dikasihani maka ia harus menjelaskan kepada publik bahwa ia melakukan hal tersebut agar ia dapat bekerja kembali walaupun hanya digaji minim, 8 dollar perjam. Ternyata keterangan Sam mampu menghipnotis masyarakat sehingga dari polling yang ada 59 % memaklumi tindakannya. Polisi yang saat datang itu tidak langsung membekuk Sam, padahal kalau mau bukanlah pekerjaan yang mudah sebab saat itu Sam hanya bermodalkan bom rakitan yang cukup sederhana. Tapi mengapa mereka tidak membekuknya, jawabannya adalah sebab saat itu masyarakat masih berpihak kepadanya. Kita tunggu sampai masyarakat membencinya demikian kata Lauren Dobin pimpinan FBI saat itu. Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat ternyata semakin muak dengan model perbuatannya Sam apalagi Cliff willliam, teman sekerjanya yang terkena terjangan peluru meninggal di rumah sakit. Sentimen publik terhadap Sam semakin menurun akhirnya berdasar polling yang ada akhirnya 68% masyarakat Amerika tidak memaafkan perbuatan Sam. Nah saat itulah polisi dan FBI mulai bergerak membekuk Sam Baily. Begitulah tindakan FBI dan polisi AS yang mendasarkan diri pada survey lapangan dan penelitian ilmiah yang ada.
|
||
Copyright © 2005 All right reserved. Joko
Subando |